Sumber : MajalahKesehatan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah wabah musiman yang secara berkala menebar ancaman di seluruh wilayah tropis di dunia, terutama di daerah perkotaan. Sekitar 50-100 juta kasus DBD dilaporkan setiap tahunnya di seluruh dunia. Di Indonesia pada 2010 lalu, DBD memakan korban lebih dari 1.300 nyawa, selain menimbulkan biaya perawatan kesehatan yang sangat besar. Hingga saat ini, tidak ada vaksin atau pengobatan khusus untuk DBD. Perawatan medis terutama dilakukan dengan mengelola demam dan memastikan kecukupan cairan tubuh, untuk mencegah komplikasi

mematikan. Satu-satunya cara untuk mencegah penyakit ini adalah dengan
mengontrol perkembangan nyamuk pembawa virusnya, yaitu Aedes aegypti, melalui
pembersihan lingkungan dan penerapan insektisida (fogging, bubuk
larvisida).
Sebuah
studi baru yang dilaporkan BBC dan diterbitkan dalam jurnal Nature
Biotechnology edisi 30 Oktober ini memberikan kabar gembira dalam
memerangi nyamuk Aedes aegypti. Dalam studi ini, sekelompok peneliti yang
terdiri dari para ilmuwan di bawah bendera Oxitec, lembaga penelitian yang
didirikan Universitas Oxford, melepaskan ribuan nyamuk jantan yang telah
dimodifikasi secara genetik di wilayah Kepulauan Cayman, di mana Aedes aegypti
banyak dijumpai dan menimbulkan wabah DBD.
Nyamuk-nyamuk
jantan itu diharapkan akan mencari dan mengawini betina Aedes aegypti di alam
liar, bersaing dengan para pejantan alami. Ketika nyamuk jantan transgenik
kawin dengan betina liar, keturunannya akan melalui tahap larva (jentik),
tetapi mati sebagai kepompong sebelum mencapai dewasa. Dengan berulang-ulang
melepaskan pejantan transgenik, maka populasi nyamuk pembawa virus ini akan
berkurang hingga di bawah tingkat minimum yang diperlukan untuk mendukung
penyebaran DBD. Metode ini dianggap sebagai alternatif insektisida yang lebih
aman karena nyamuk jantan tidak menggigit atau menyebarkan penyakit, dan hanya kawin
dengan betina dari spesies yang sama.
Sejumlah
sampel larva nyamuk yang dikumpulkan dari daerah studi seluas 10 hektar itu
pada empat minggu berikutnya menunjukkan bahwa mereka membawa gen transgenik,
yang berarti bahwa para pejantan transgenik berhasil bertahan dan
menemukan pasangan. Dengan demikian, para peneliti menyimpulkan teknologi baru
ini layak untuk menekan populasi A. aegypti.
Tahap
kedua studi ini diharapkan dapat melepaskan jutaan nyamuk jantan transgenik
untuk mengurangi populasi di daerah sasaran hingga 80%. “Pendekatan ini dapat
digunakan di banyak negara untuk membantu mengendalikan nyamuk Aedes aegypti
dan karenanya mencegah demam berdarah,” kata Dr Luke Alphey, kepala peneliti.
Sejumlah
kelompok lingkungan telah menyatakan keprihatinan terhadap pendekatan rekayasa
genetika ini. Misalnya, Kelompok ETC di Ottawa, Kanada, dan EcoNexus Oxford,
Inggris, yang menyatakan bahwa pelepasan nyamuk transgenik di alam liar dapat
menciptakan sebuah “ceruk kosong” yang dapat diisi oleh nyamuk lain yang
serupa, jika tidak lebih berbahaya. Kekhawatiran lainnya adalah kemungkinan
konsekuensi yang belum dieksplorasi terhadap organisme lain di rantai atas
makanan, misalnya cicak.
“Studi
ini adalah yang pertama kali menunjukkan bahwa populasi nyamuk bisa ditekan
dengan cara ini,” kata Dr Raman Velayudhan, pakar DBD dari WHO. Menyadari bahwa
rekayasa genetika merupakan teknologi yang memiliki potensi risiko dan manfaat,
WHO sedang menyelesaikan panduan tentang bagaimana serangga transgenik harus
dilepaskan di negara-negara berkembang, yang diharapkan dapat dirilis pada
akhir tahun ini.
0 komentar:
Posting Komentar